-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita


 

Bumi Tidak Butuh Bos: Perlu Menafsir Ulang Gaya Kepemimpinan

| Sabtu, Agustus 30, 2025 WIB Last Updated 2025-08-30T08:49:20Z

 



KRISIS iklim bukan sekedar ancaman masa depan. Kini sudah nyata. Bukan isu masa depan, melainkan kenyataan hari ini yang menuntut tanggung jawab kolektif. Ini menunjukkan "Bumi, rumah kita, tampaknya semakin berubah menjadi tempat penuh kotoran, kekotoran, dan kerusakan (Laudato Si’, 21)”. Banjir yang makin sering, musim yang tidak menentu, suhu yang menghangat, hingga kualitas udara yang memburuk adalah tanda-tanda bumi sedang tidak baik-baik saja. Di tengah kondisi ini, kepemimpinan yang tanggap dan berpihak pada keberlanjutan menjadi kebutuhan mendesak. Dunia tidak kekurangan orang yang memberi perintah. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang benar-benar peduli.

Hari ini, kita hidup di tengah peradaban yang serba cepat, serba target, serba profit. Banyak pemimpin yang terjebak dalam pola pikir teknokratis yang hanya menghitung laba dan angka pertumbuhan. Padahal, keberlanjutan lingkungan tidak bisa dilihat sekadar dari hitung-hitungan ekonomi. Kini "kita membutuhkan pemimpin yang berani dan bertanggung jawab, yang mampu menjawab jeritan bumi dan jeritan orang rakyat (Laudato Si’, 13)”. Pemimpin yang baik tidak hanya bertanya “seberapa cepat kita tumbuh?”, tetapi “apa yang akan tersisa untuk anak cucu kita nanti?”.

 

Krisis yang Semakin Nyata

Perubahan iklim bukan sekadar wacana akademik, kini merangsek masuk. Laporan Kompaspedia (25/3/2025, dan 5/06/2025) menyebutkan, sejak 1973 hingga 2015, Indonesia kehilangan 18,7 juta hektar hutan alami di Kalimantan akibat kebakaran. Tahun 2015 menjadi titik kritis, saat asap kebakaran melepaskan lebih dari 1,6 juta ton karbon dioksida (CO₂), memperburuk darurat iklim dan menciptidakan polusi lintas negara. Kondisi ini diperburuk oleh peningkatan gas rumah kaca. Pada 2021, CO₂ naik 149%, metana (CH₄) 262%, dan nitrogen oksida (N₂O) 124% dibandingkan era pra-industri. Dampaknya menyeret kelompok rentan ke jurang ketidakadilan iklim. Studi memprediksi, pada 2030, lahan pertanian global akan menyusut 5% dan pada 2045, pengeluaran kelompok miskin bisa melonjak hingga 578%.

Laporan FAO (2024) menyebutkan, 733 juta orang di dunia masih hidup dalam kelaparan, dan 282 juta lainnya membutuhkan bantuan pangan mendesak. Situasi makin pelik karena 55% produksi pangan dunia berada di kawasan rawan kekeringan. Indonesia, sebagai negara agraris, tidak luput dari ancaman. Komitmen pemerintah Indonesia untuk menghadirkan kedaulatan pangan telah diatur dalam UU Pangan No. 18 Tahun 2012. Ini memang menjanjikan ketahanan pangan, tetapi ketika sawah mengering dan ladang terendam, idealisme hukum runtuh di hadapan kenyataan ekologis.

 

Sumber: Diunduh dari Kompaspedia (Kompaspedia, 21 April 2025)

Menafsir Ulang Kepemimpinan

Green leadership atau kepemimpinan hijau adalah konsep yang menempatkan keberlanjutan dan keadilan ekologis sebagai inti dari keputusan dan tindakan pemimpin. Ini bukan semata gaya atau program sesaat, tetapi sebuah etika hidup dan visi jangka panjang. Seorang green leader berpikir lintas generasi, peduli pada keseimbangan alam, dan tidak ragu mengambil langkah tidak populer demi menyelamatkan kehidupan. Dalam konteks ini, pemimpin tidak lagi dilihat dari seberapa besar kekuasaannya, tetapi dari seberapa besar komitmennya menjaga bumi. Green leadership tidak berarti anti kemajuan, tetapi memastikan bahwa kemajuan tidak menghancurkan ekosistem yang menopang kehidupan lintas generasi.

Kepemimpinan hijau, bukanlah konsep yang lahir dari satu orang atau satu teori tunggal. Gagasan ini merupakan hasil dari perjalanan panjang pemikiran multidisipliner yang menggabungkan teori kepemimpinan, kesadaran lingkungan hidup, dan kajian keberlanjutan. Beberapa tokoh dibalik kepemimipnan ini misalnya James G. Speth (2008) menyebut krisis iklim sebagai krisis moral dan kegagalan kepemimpinan. Pemimpin, katanya, harus berpihak pada planet, bukan laba jangka pendek. Pemikiran ini memperkuat dasar etis bagi kepemimpinan berwawasan ekologis. 

Christopher P. Egri dan Susan Herman (2000) mengkaji kepemimpinan organisasi lingkungan di Amerika Utara. Hasilnya: nilai ekologis dan gaya transformasional adalah ciri utama pemimpin hijau. Dalam dunia pendidikan, Mark Shriberg (2013) menekankan pentingnya green leadership di perguruan tinggi. Pemimpin hijau, menurutnya, dibentuk oleh etika, keberanian menggugat status quo, dan semangat perubahan institusional. Peter Senge, melalui The Fifth Discipline, meski tidak eksplisit menyebut istilah green leadership, menekankan pentingnya berpikir sistemik dan membangun organisasi yang selaras dengan keberlanjutan. Sementara itu, Ray Anderson, CEO Interface Inc., membuktikan bahwa kepemimpinan hijau bisa dijalankan di sektor industri. Melalui prinsip zero waste dan energi terbarukan. Menurut Anderson, prinsip keberlanjutan bisa sejalan dengan keberhasilan bisnis.

Dari beberapa pemikir tersebut di atas secara teoretis, green leadership berakar pada sejumlah pendekatan kepemimpinan yang saling melengkapi. Seperti transformational leadership, yang menempatkan pemimpin sebagai agen perubahan ekologis, menginspirasi orang lain untuk bergerak bersama menjaga bumi. Termasuk prinsip ethical leadership, dengan menanamkan nilai moral dan tanggung jawab antargenerasi dalam setiap kebijakan dan tindakan. Di saat yang sama, green leadership tumbuh dari semangat servant leadership, yakni kepemimpinan yang melayani, bukan menguasai, dan menempatkan bumi dan komunitas sebagai yang utama. Dan akhirnya, berpijak pada visi sustainable leadership, yang tidak hanya mengejar hasil, tetapi juga menjamin keberlanjutan proses, nilai sosial, dan kelestarian lingkungan, serta toeri lainya yang relevan.

Dengan fondasi yang kokoh, kepemimpinan hijau bukan sekadar konsep abstrak, melainkan jalan hidup yang menyatukan visi, etika, dan aksi nyata demi masa depan bersama. Di tengah krisis yang semakin nyata, kita diajak menafsir ulang cara berpikir, bersikap, dan berperan dalam merawat bumi. Nilai-nilai ini tertanam dan diwujudkan dalam semangat Green Leadership. Sebab krisis iklim bukan hanya masalah teknis, tetapi juga krisis moral dan kepemimpinan yang menuntut keterlibatan aktif dari setiap individu. Perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil: dari keluarga, rumah, komunitas, hingga lembaga pendidikan. Kita semua bisa menjadi bagian dari Green Leadership, karena sejatinya, kitalah pemimpin itu.

 

Dipersatukan oleh Kekewatiran yang Sama

Mayoritas pendudukan Indonesia menujukkan kekewatiran terhadap krisis iklim dan akibat yang menyertainya. Termasuk isu lingkungan semakin menjadi perhatian utama generasi muda Indonesia. Survei Indikator Politik Indonesia dan Yayasan CERAH (2021) mencatat 82% generasi Z dan milenial menganggap lingkungan sebagai isu yang mengkhawatirkan, mendekati kekhawatiran terhadap korupsi (85%). Isu yang paling dikhawatirkan meliputi cuaca ekstrem, sampah plastik, kesehatan, deforestasi, dan polusi udara. Selain itu, Survei Yayasan Partisipasi Muda (2023) juga menemukan bahwa 59% anak muda melihat isu lingkungan sebagai masalah mendesak.

Lebih luas lagi, survei Global Methane Poll (2025) menunjukkan 98% masyarakat Indonesia percaya pada perubahan iklim, dengan 81% meyakini aktivitas manusia sebagai penyebab utama, dan 91% mendukung aksi pengurangan dampaknya. Data ini menegaskan meningkatnya kesadaran publik, khususnya generasi muda, untuk mendorong aksi nyata dalam menghadapi krisis iklim.

Fakta ini menegaskan bahwa semua pihak dari berbagai kalangan menaruh perhatian serius terhadap perubahan iklim dan dampaknya. Kekawatirasan ini seyokyakan menjadi fondasi dasar untuk bersama bergerak sesuai dengan profesi dan kedudukan masing-masing. Bersatu untuk melakukan aksi nyata, sekecil apapun itu. Mulai dari lingkungan keluarga, komunitas, pendidikan, pemerintah, jurnalis, pegiat media sosial, tokoh adat dan lembaga lainya.

 

Literasi Perubahan Iklim Bukan Soal Jabatan

Kita semua adalah pemimpin. Semua punya andil untuk kesembuhan bumi. Peninggkatan literasi perubahan iklim adalah salah satu langkah yang akan menyasar lintas sektor. Salah satunya melalui dunia Pendidikan. Jika ingin mencetak pemimpin masa depan yang berwawasan ekologis, dunia pendidikan harus menjadi titik awalnya. Sekolah dan kampus tidak boleh hanya fokus pada nilai akademik dan keterampilan teknis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kesadaran ekologis.

 Berikut adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah Pertama Literasi Iklim: Dari Ruang Kelas ke Laman Media Sosial. Krisis iklim bukan lagi sekadar wacana saintifik, melainkan realitas harian yang mengetuk pintu rumah kita, dan mengetuk pintu hati kita. Di balik berita banjir bandang, gagal panen, hingga udara penuh polusi, ada satu kebutuhan mendasar yang perlu segera dibangun: literasi perubahan iklim.

 Literasi iklim bukan hanya kemampuan memahami istilah teknis seperti karbon, metana, atau deforestasi. Lebih dari itu, ia adalah kesadaran reflektif dan etis tentang hubungan manusia dengan bumi dan kemampuan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Untuk itu, pendekatan literasi iklim harus melampaui ruang kelas, menjangkau media, budaya digital, dan komunitas akar rumput. Sekolah sebagai wadah untuk untuk menyemai kesadaran sejak dini, taman pertama tempat tumbuhnya kesadaran. Maka, literasi iklim harus dimulai dari sana. Isu lingkungan tidak cukup hanya diajarkan dalam pelajaran IPA atau Geografi. Perlu dihadirkan dalam Bahasa Indonesia lewat cerita tentang hutan dan petani; dalam PPKn sebagai bentuk tanggung jawab warga negara terhadap alam; dalam pelajaran Agama sebagai refleksi spiritual tentang ciptaan. Di sisi lain, aksi nyata seperti bank sampah sekolah, kebun vertikal, konservasi air hujan, dan pelatihan guru sebagai climate ambassadors menjadikan sekolah sebagai ruang pembiasaan, bukan sekadar hafalan. Yang tidak kalah penting, sekolah harus membangun relasi dengan komunitas dan orang tua. Kegiatan seperti “Jumat Hijau” atau gotong royong membersihkan lingkungan bisa jadi titik temu edukatif antara generasi muda dan orang dewasa.

Kedua, Melalui Media dan Jurnalisme untuk Menggerakkan Publik. Media memegang kunci dalam membentuk opini dan kesadaran publik. Kita butuh media tidak hanya untuk menanyangkan  narasi bencana: longsor, banjir, kekeringan., tetapi juga jembatan untuk mengupas semua isu dan akar masalah yang jarang dibongkar seperti alih fungsi lahan, eksploitasi energi fosil, dan kebijakan pembangunan yang mengabaikan terhadap keberlanjutan ekosistem. Kita butuh jurnalisme iklim yang mendalam dan berbasis data bukan sekadar laporan, tapi juga investigasi, feature, dan cerita-cerita kemanusiaan yang menyentuh. Pelatihan jurnalis tentang keberlanjutan, rubrik khusus “Iklim dan Lingkungan”, serta penggunaan bahasa populer yang membumi akan membuat isu krisis iklim lebih dekat dan dipahami publik luas.

Ketiga, Di Media Sosial: Narasi Hijau dalam Format Menarik. Di era digital, jari-jari kita lebih cepat scroll TikTok daripada membuka koran. Maka, kampanye literasi iklim pun harus mengikuti pola interaksi baru ini. Video singkat “1 Menit Peduli Iklim” di TikTok dan Instagram Reels bisa mengedukasi soal pengurangan emisi dengan cara fun dan relevan. Konten kreatif seperti challenge tanpa plastik, review produk ramah lingkungan, atau vlog dari desa terdampak banjir akan lebih mudah viral ketimbang tabel suhu global. Lebih jauh, kita perlu kolaborasi dengan influencer, pendidik muda, dan content creator agar isu ini menyentuh lebih banyak audiens. Karena generasi muda tidak akan berubah oleh poster saja. mereka bergerak lewat cerita dan komunitas digital.

Keempat, Di Komunitas Adat: Menjaga Pengetahuan yang Menjaga Alam. Komunitas adat di Indonesia telah lama hidup berdampingan dengan alam dalam harmoni yang nyaris sempurna melalui praktek hidup dan ritus-ritus budaya. Bentuk ekologis dari kearifan lokal yang tidak tertulis di buku pelajaran, tapi tertanam dalam laku budaya. Revitalisasi peran lembaga adat sebagai pusat pembelajaran iklim perlu digalakkan. Sekolah adat bisa menjadi ruang alternatif literasi lingkungan, di mana anak-anak diajarkan mengenal angin, membaca langit, dan merawat tanah. Cerita rakyat tentang sungai dan gunung bisa diubah menjadi buku anak-anak yang mengedukasi tentang konservasi. Ritual adat pun bisa dimodifikasi sebagai ruang kontemplasi ekologis: mendoakan bumi yang sekarat, memohon hujan yang tertunda, atau mensyukuri panen yang berhasil.

Penguatan literasi perubahan iklim diberbagai sektor mengafirmasi kenyataan yang diris oleh Global Methane Poll (2025) bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat penggunaan media sosial tertinggi sebagai sumber informasi, yakni YouTube (83%), Facebook (71%), Instagram (74%), TikTok (60%), dan WhatsApp (71%) menjadi kanal utama yang diakses publik, disusul oleh X/Twitter (43%). Masih menurut survey yang sama,  63% responden di Indonesia mengaku masih mengandalkan media lokal dan nasional sebagai sumber utama informasi perubahan iklim, diikuti media internasional (57%). Ilmuwan internasional (46%), ilmuwan dalam negeri (43%), serta lembaga pendidikan (40%) juga masuk dalam lima besar sumber yang dianggap paling kredibel.

Temuan ini menunjukkan bahwa publik Indonesia tetap menjadikan media arus utama dan suara ilmiah sebagai referensi penting di tengah kian maraknya informasi digital. Ini menjadi peluang sekaligus tanggung jawab bersama khususnya bagi media, pendidik, dan komunitas untuk menyampaikan literasi perubahan iklim secara akurat, membumi, dan menjangkau lintas generasi.

Perubahan iklim adalah masalah global dengan implikasi yang luas untuk lingkungan, kehidupan masyarakat, ekonomi, distribusi kekayaan, dan politik (Laudato Si’, 25). Melalui gerakkan literasi perubahan iklim lintas sektor, niscaya akan menciptakan keadilan iklim.

 

Bukan Soal Jabatan

Pemimpin yang peduli bumi tidak harus menunggu menduduki posisi tinggi. Berbagai tawaran sosulusi yang telah disebutkan sebalumnya memungkinkan gerakkan nilai-nalai kepemimpinan hijau bisa dimulai dari komunitas lokal, dari pengurus RT, dari kepala sekolah, dari akademisi, bahkan dari anak muda yang memutuskan membawa botol minum sendiri dan menolak fast fashion.

Bumi tidak butuh bos. Bumi butuh pemimpin yang tidak hanya berbicara soal perubahan iklim saat kampanye, tetapi juga berani mengambil langkah konkret ketika menjabat. Yang tidak hanya ikut-ikutan tanam pohon untuk konten, tetapi sungguh merawat tanah tempat akar-akar itu tumbuh. Kepemimpinan bukan soal gaya bicara atau seragam dinas. Kepemimpinan adalah keberanian untuk bersikap benar ketika banyak orang memilih diam. Bagi bumi, seorang pemimpin sejati adalah mereka yang memahami bahwa menjaga lingkungan bukan urusan sampingan, melainkan inti dari keberlangsungan hidup.

Bumi tidak sedang menunggu pahlawan besar. Ia menanti kita semua, yang bertindak menjadi pemimpin-pemimpin kecil di ruang lingkup masing-masing yang mau peduli, mau bergerak, dan mau bertanggung jawab. Karena pada akhirnya, kepedulian adalah bentuk paling nyata dari kepemimpinan. Bumi tidak butuh bos. Bumi butuh kita, butuh pemimpin yang peduli.

Penulis: BFH (Peminat Studi Leadership)


 

×
Berita Terbaru Update