KRISIS
iklim bukan sekedar ancaman masa depan. Kini sudah nyata. Bukan isu masa depan,
melainkan kenyataan hari ini yang menuntut tanggung jawab kolektif. Ini menunjukkan
"Bumi, rumah kita, tampaknya semakin berubah menjadi tempat penuh kotoran,
kekotoran, dan kerusakan (Laudato Si’, 21)”. Banjir yang makin sering,
musim yang tidak menentu, suhu yang menghangat, hingga kualitas udara yang
memburuk adalah tanda-tanda bumi sedang tidak baik-baik saja. Di tengah kondisi
ini, kepemimpinan yang tanggap dan berpihak pada keberlanjutan menjadi
kebutuhan mendesak. Dunia tidak kekurangan orang yang memberi perintah. Yang
kita butuhkan adalah pemimpin yang benar-benar peduli.
Hari
ini, kita hidup di tengah peradaban yang serba cepat, serba target, serba
profit. Banyak pemimpin yang terjebak dalam pola pikir teknokratis yang hanya
menghitung laba dan angka pertumbuhan. Padahal, keberlanjutan lingkungan tidak
bisa dilihat sekadar dari hitung-hitungan ekonomi. Kini "kita membutuhkan
pemimpin yang berani dan bertanggung jawab, yang mampu menjawab jeritan bumi
dan jeritan orang rakyat (Laudato Si’, 13)”. Pemimpin yang baik tidak
hanya bertanya “seberapa cepat kita tumbuh?”, tetapi “apa yang akan tersisa
untuk anak cucu kita nanti?”.
Krisis yang Semakin Nyata
Perubahan iklim bukan sekadar wacana akademik, kini merangsek masuk. Laporan Kompaspedia (25/3/2025, dan 5/06/2025) menyebutkan, sejak 1973 hingga 2015, Indonesia kehilangan 18,7 juta hektar hutan alami di Kalimantan akibat kebakaran. Tahun 2015 menjadi titik kritis, saat asap kebakaran melepaskan lebih dari 1,6 juta ton karbon dioksida (CO₂), memperburuk darurat iklim dan menciptidakan polusi lintas negara. Kondisi ini diperburuk oleh peningkatan gas rumah kaca. Pada 2021, CO₂ naik 149%, metana (CH₄) 262%, dan nitrogen oksida (N₂O) 124% dibandingkan era pra-industri. Dampaknya menyeret kelompok rentan ke jurang ketidakadilan iklim. Studi memprediksi, pada 2030, lahan pertanian global akan menyusut 5% dan pada 2045, pengeluaran kelompok miskin bisa melonjak hingga 578%.
Laporan
FAO (2024) menyebutkan, 733 juta orang di dunia masih hidup dalam kelaparan,
dan 282 juta lainnya membutuhkan bantuan pangan mendesak. Situasi makin pelik
karena 55% produksi pangan dunia berada di kawasan rawan kekeringan. Indonesia,
sebagai negara agraris, tidak luput dari ancaman. Komitmen pemerintah Indonesia
untuk menghadirkan kedaulatan pangan telah diatur dalam UU Pangan No. 18 Tahun
2012. Ini memang menjanjikan ketahanan pangan, tetapi ketika sawah mengering
dan ladang terendam, idealisme hukum runtuh di hadapan kenyataan ekologis.
Sumber: Diunduh dari Kompaspedia (Kompaspedia, 21 April 2025)
Menafsir
Ulang Kepemimpinan
Green
leadership atau kepemimpinan hijau adalah konsep yang menempatkan
keberlanjutan dan keadilan ekologis sebagai inti dari keputusan dan tindakan
pemimpin. Ini bukan semata gaya atau program sesaat, tetapi sebuah etika hidup
dan visi jangka panjang. Seorang green leader berpikir lintas generasi,
peduli pada keseimbangan alam, dan tidak ragu mengambil langkah tidak populer
demi menyelamatkan kehidupan. Dalam konteks ini, pemimpin tidak lagi dilihat
dari seberapa besar kekuasaannya, tetapi dari seberapa besar komitmennya
menjaga bumi. Green leadership tidak berarti anti kemajuan, tetapi
memastikan bahwa kemajuan tidak menghancurkan ekosistem yang menopang
kehidupan lintas generasi.
Kepemimpinan hijau, bukanlah konsep yang lahir dari satu orang atau satu teori tunggal. Gagasan ini merupakan hasil dari perjalanan panjang pemikiran multidisipliner yang menggabungkan teori kepemimpinan, kesadaran lingkungan hidup, dan kajian keberlanjutan. Beberapa tokoh dibalik kepemimipnan ini misalnya James G. Speth (2008) menyebut krisis iklim sebagai krisis moral dan kegagalan kepemimpinan. Pemimpin, katanya, harus berpihak pada planet, bukan laba jangka pendek. Pemikiran ini memperkuat dasar etis bagi kepemimpinan berwawasan ekologis.
Christopher P. Egri dan Susan Herman (2000) mengkaji kepemimpinan organisasi lingkungan di Amerika Utara. Hasilnya: nilai ekologis dan gaya transformasional adalah ciri utama pemimpin hijau. Dalam dunia pendidikan, Mark Shriberg (2013) menekankan pentingnya green leadership di perguruan tinggi. Pemimpin hijau, menurutnya, dibentuk oleh etika, keberanian menggugat status quo, dan semangat perubahan institusional. Peter Senge, melalui The Fifth Discipline, meski tidak eksplisit menyebut istilah green leadership, menekankan pentingnya berpikir sistemik dan membangun organisasi yang selaras dengan keberlanjutan. Sementara itu, Ray Anderson, CEO Interface Inc., membuktikan bahwa kepemimpinan hijau bisa dijalankan di sektor industri. Melalui prinsip zero waste dan energi terbarukan. Menurut Anderson, prinsip keberlanjutan bisa sejalan dengan keberhasilan bisnis.
Dari beberapa pemikir tersebut di atas secara
teoretis, green leadership berakar pada sejumlah pendekatan kepemimpinan
yang saling melengkapi. Seperti transformational leadership, yang
menempatkan pemimpin sebagai agen perubahan ekologis, menginspirasi orang lain
untuk bergerak bersama menjaga bumi. Termasuk prinsip ethical leadership,
dengan menanamkan nilai moral dan tanggung jawab antargenerasi dalam setiap
kebijakan dan tindakan. Di saat yang sama, green leadership tumbuh dari
semangat servant leadership, yakni kepemimpinan yang melayani, bukan
menguasai, dan menempatkan bumi dan komunitas sebagai yang utama. Dan akhirnya,
berpijak pada visi sustainable leadership, yang tidak hanya mengejar
hasil, tetapi juga menjamin keberlanjutan proses, nilai sosial, dan kelestarian
lingkungan, serta toeri lainya yang relevan.
Dengan
fondasi yang kokoh, kepemimpinan hijau bukan sekadar konsep abstrak, melainkan
jalan hidup yang menyatukan visi, etika, dan aksi nyata demi masa depan
bersama. Di tengah krisis yang semakin nyata, kita diajak menafsir ulang cara
berpikir, bersikap, dan berperan dalam merawat bumi. Nilai-nilai ini tertanam
dan diwujudkan dalam semangat Green Leadership. Sebab krisis iklim bukan
hanya masalah teknis, tetapi juga krisis moral dan kepemimpinan yang menuntut
keterlibatan aktif dari setiap individu. Perubahan besar dimulai dari
langkah-langkah kecil: dari keluarga, rumah, komunitas, hingga lembaga
pendidikan. Kita semua bisa menjadi bagian dari Green Leadership, karena
sejatinya, kitalah pemimpin itu.
Dipersatukan
oleh Kekewatiran yang Sama
Mayoritas
pendudukan Indonesia menujukkan kekewatiran terhadap krisis iklim dan akibat
yang menyertainya. Termasuk isu lingkungan semakin menjadi perhatian utama
generasi muda Indonesia. Survei Indikator Politik Indonesia dan Yayasan CERAH
(2021) mencatat 82% generasi Z dan milenial menganggap lingkungan sebagai isu
yang mengkhawatirkan, mendekati kekhawatiran terhadap korupsi (85%). Isu yang
paling dikhawatirkan meliputi cuaca ekstrem, sampah plastik, kesehatan,
deforestasi, dan polusi udara. Selain itu, Survei Yayasan Partisipasi Muda
(2023) juga menemukan bahwa 59% anak muda melihat isu lingkungan sebagai
masalah mendesak.
Lebih
luas lagi, survei Global Methane Poll (2025) menunjukkan 98% masyarakat
Indonesia percaya pada perubahan iklim, dengan 81% meyakini aktivitas manusia
sebagai penyebab utama, dan 91% mendukung aksi pengurangan dampaknya. Data ini
menegaskan meningkatnya kesadaran publik, khususnya generasi muda, untuk
mendorong aksi nyata dalam menghadapi krisis iklim.
Fakta
ini menegaskan bahwa semua pihak dari berbagai kalangan menaruh perhatian
serius terhadap perubahan iklim dan dampaknya. Kekawatirasan ini seyokyakan
menjadi fondasi dasar untuk bersama bergerak sesuai dengan profesi dan
kedudukan masing-masing. Bersatu untuk melakukan aksi nyata, sekecil apapun
itu. Mulai dari lingkungan keluarga, komunitas, pendidikan, pemerintah,
jurnalis, pegiat media sosial, tokoh adat dan lembaga lainya.
Literasi
Perubahan Iklim Bukan Soal Jabatan
Kita semua adalah pemimpin. Semua punya andil untuk kesembuhan bumi. Peninggkatan literasi perubahan iklim adalah salah satu langkah yang akan menyasar lintas sektor. Salah satunya melalui dunia Pendidikan. Jika ingin mencetak pemimpin masa depan yang berwawasan ekologis, dunia pendidikan harus menjadi titik awalnya. Sekolah dan kampus tidak boleh hanya fokus pada nilai akademik dan keterampilan teknis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kesadaran ekologis.
Berikut adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah Pertama Literasi Iklim: Dari Ruang Kelas ke Laman Media Sosial. Krisis iklim bukan lagi sekadar wacana saintifik, melainkan realitas harian yang mengetuk pintu rumah kita, dan mengetuk pintu hati kita. Di balik berita banjir bandang, gagal panen, hingga udara penuh polusi, ada satu kebutuhan mendasar yang perlu segera dibangun: literasi perubahan iklim.
Literasi iklim bukan hanya kemampuan memahami istilah teknis seperti karbon, metana, atau deforestasi. Lebih dari itu, ia adalah kesadaran reflektif dan etis tentang hubungan manusia dengan bumi dan kemampuan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Untuk itu, pendekatan literasi iklim harus melampaui ruang kelas, menjangkau media, budaya digital, dan komunitas akar rumput. Sekolah sebagai wadah untuk untuk menyemai kesadaran sejak dini, taman pertama tempat tumbuhnya kesadaran. Maka, literasi iklim harus dimulai dari sana. Isu lingkungan tidak cukup hanya diajarkan dalam pelajaran IPA atau Geografi. Perlu dihadirkan dalam Bahasa Indonesia lewat cerita tentang hutan dan petani; dalam PPKn sebagai bentuk tanggung jawab warga negara terhadap alam; dalam pelajaran Agama sebagai refleksi spiritual tentang ciptaan. Di sisi lain, aksi nyata seperti bank sampah sekolah, kebun vertikal, konservasi air hujan, dan pelatihan guru sebagai climate ambassadors menjadikan sekolah sebagai ruang pembiasaan, bukan sekadar hafalan. Yang tidak kalah penting, sekolah harus membangun relasi dengan komunitas dan orang tua. Kegiatan seperti “Jumat Hijau” atau gotong royong membersihkan lingkungan bisa jadi titik temu edukatif antara generasi muda dan orang dewasa.
Kedua,
Melalui Media dan Jurnalisme untuk Menggerakkan Publik. Media memegang kunci
dalam membentuk opini dan kesadaran publik. Kita butuh media tidak hanya untuk menanyangkan narasi bencana: longsor,
banjir, kekeringan., tetapi juga jembatan untuk mengupas semua isu dan akar masalah yang jarang
dibongkar seperti alih fungsi lahan, eksploitasi energi fosil, dan kebijakan
pembangunan yang mengabaikan terhadap keberlanjutan ekosistem. Kita butuh jurnalisme iklim yang
mendalam dan berbasis data bukan sekadar laporan, tapi juga investigasi,
feature, dan cerita-cerita kemanusiaan yang menyentuh. Pelatihan jurnalis
tentang keberlanjutan, rubrik khusus “Iklim dan Lingkungan”, serta penggunaan
bahasa populer yang membumi akan membuat isu krisis iklim lebih dekat dan
dipahami publik luas.
Ketiga, Di
Media Sosial: Narasi Hijau dalam Format Menarik. Di era digital, jari-jari kita
lebih cepat scroll TikTok daripada membuka koran. Maka, kampanye literasi iklim
pun harus mengikuti pola interaksi baru ini. Video singkat “1 Menit Peduli
Iklim” di TikTok dan Instagram Reels bisa mengedukasi soal pengurangan emisi
dengan cara fun dan relevan. Konten kreatif seperti challenge
tanpa plastik, review produk ramah lingkungan, atau vlog dari
desa terdampak banjir akan lebih mudah viral ketimbang tabel suhu global. Lebih
jauh, kita perlu kolaborasi dengan influencer, pendidik muda, dan
content creator agar isu ini menyentuh lebih banyak audiens. Karena generasi
muda tidak akan berubah oleh poster saja. mereka bergerak lewat cerita dan
komunitas digital.
Keempat,
Di Komunitas Adat: Menjaga Pengetahuan yang Menjaga Alam. Komunitas adat di
Indonesia telah lama hidup berdampingan dengan alam dalam harmoni yang nyaris
sempurna melalui praktek hidup dan ritus-ritus budaya. Bentuk ekologis dari
kearifan lokal yang tidak tertulis di buku pelajaran, tapi tertanam dalam laku
budaya. Revitalisasi peran lembaga adat sebagai pusat pembelajaran iklim perlu digalakkan.
Sekolah adat bisa menjadi ruang alternatif literasi lingkungan, di mana
anak-anak diajarkan mengenal angin, membaca langit, dan merawat tanah. Cerita
rakyat tentang sungai dan gunung bisa diubah menjadi buku anak-anak yang
mengedukasi tentang konservasi. Ritual adat pun bisa dimodifikasi sebagai ruang
kontemplasi ekologis: mendoakan bumi yang sekarat, memohon hujan yang tertunda,
atau mensyukuri panen yang berhasil.
Penguatan
literasi perubahan iklim diberbagai sektor mengafirmasi kenyataan yang diris
oleh Global Methane Poll (2025) bahwa Indonesia termasuk negara dengan
tingkat penggunaan media sosial tertinggi sebagai sumber informasi, yakni YouTube
(83%), Facebook (71%), Instagram (74%), TikTok (60%), dan WhatsApp (71%)
menjadi kanal utama yang diakses publik, disusul oleh X/Twitter (43%). Masih
menurut survey yang sama, 63% responden
di Indonesia mengaku masih mengandalkan media lokal dan nasional sebagai sumber
utama informasi perubahan iklim, diikuti media internasional (57%). Ilmuwan
internasional (46%), ilmuwan dalam negeri (43%), serta lembaga pendidikan (40%)
juga masuk dalam lima besar sumber yang dianggap paling kredibel.
Temuan
ini menunjukkan bahwa publik Indonesia tetap menjadikan media arus utama dan
suara ilmiah sebagai referensi penting di tengah kian maraknya informasi
digital. Ini menjadi peluang sekaligus tanggung jawab bersama khususnya bagi
media, pendidik, dan komunitas untuk menyampaikan literasi perubahan iklim
secara akurat, membumi, dan menjangkau lintas generasi.
Perubahan
iklim adalah masalah global dengan implikasi yang luas untuk lingkungan,
kehidupan masyarakat, ekonomi, distribusi kekayaan, dan politik (Laudato Si’,
25). Melalui gerakkan literasi perubahan iklim lintas sektor, niscaya akan
menciptakan keadilan iklim.
Bukan
Soal Jabatan
Pemimpin
yang peduli bumi tidak harus menunggu menduduki posisi tinggi. Berbagai tawaran sosulusi yang telah disebutkan sebalumnya memungkinkan gerakkan nilai-nalai kepemimpinan hijau bisa dimulai
dari komunitas lokal, dari pengurus RT, dari kepala sekolah, dari akademisi, bahkan
dari anak muda yang memutuskan membawa botol minum sendiri dan menolak fast
fashion.
Bumi
tidak butuh bos. Bumi butuh pemimpin yang tidak hanya berbicara soal perubahan
iklim saat kampanye, tetapi juga berani mengambil langkah konkret ketika
menjabat. Yang tidak hanya ikut-ikutan tanam pohon untuk konten, tetapi sungguh
merawat tanah tempat akar-akar itu tumbuh. Kepemimpinan bukan soal gaya bicara
atau seragam dinas. Kepemimpinan adalah keberanian untuk bersikap benar ketika
banyak orang memilih diam. Bagi bumi, seorang pemimpin sejati adalah mereka
yang memahami bahwa menjaga lingkungan bukan urusan sampingan, melainkan inti
dari keberlangsungan hidup.
Bumi tidak sedang menunggu pahlawan besar. Ia menanti kita semua, yang bertindak menjadi pemimpin-pemimpin kecil di ruang lingkup masing-masing yang mau peduli, mau bergerak, dan mau bertanggung jawab. Karena pada akhirnya, kepedulian adalah bentuk paling nyata dari kepemimpinan. Bumi tidak butuh bos. Bumi butuh kita, butuh pemimpin yang peduli.
Penulis: BFH (Peminat Studi Leadership)